JADI! Maaf seribu maaf. udah lama BUANGET ga pos. Silahkan hukum saya sepuas anda. Selama itu online dan bukanlah kekerasan fisik, saya terima2 saja. :D (sejak kapan dihukum bisa milih sih... emang gw maunya enak aja ya. tabok saja saya! #ets #tapigabisa)
Untuk apdet hidup: mau lulus nih. #CIEEEEHHH tapi belum selesai tesisnya. Duduts banget ye? #dhueng But i'm close to graduating. Wish me luck? :)
Terus, yang akhir2 ini saya lakukan... menulis. Mostly fiction. Yah, 5-6 cerita sekaligus sih... Tapi saya tak pede publishnya... #uhyuk But for my followers, I give you just a glimpse.
Oke, background cerita ini adalah... vampir. Yes, I know most of you would think, 'this is just another Twilight kind of story'. Well, mungkin iya. Mungkin ngga. Tapi, if you would be so kind, kasih masukan ya. Berikut hanyalah satu bagian dari cerita yang gw bikin... meski karakter utamanya mirip spt Bella Swan, tapi gw berani jamin nasibnya ga akan sama. :D Happy Reading and please tell me what you think! Kalau kalian penasaran/suka, komen aja. akan saya tambah babnya. :D
“Triiinggg….”
Klik.
Aku menguap. Kutepis jam beker itu
ke lantai. Jam tersebut berbunyi jika hari sudah berganti. Dan aku tidak suka
hari berganti. Berarti aku harus mengulangi lagi.
Mengulangi rutinitas yang sama.
Setelah lima menit duduk di tempat
tidur, otomatis aku berjalan ke arah kamar mandi, lalu menyikat gigi. 3 menit
kemudian, aku mengambil handuk dan baju ganti, kemudian mandi pagi. 10 menit
kemudian, aku telah turun kebawah, membawa tas sekolahku, dan siap untuk
sarapan.
Selagi aku memanggang roti dan
membuat kopi susu, aku memperhatikan orang tuaku, yang pandangannya tidak
beranjak dari surat kabar yang mereka baca. Ayah membaca koran kota hari ini,
sementara Ibu sedang menjajal tabloid wanita favoritnya. Aku menghirup nafas
pelan, lalu perlahan-lahan membawa sarapanku ke meja, kemudian makan dalam
diam.
“Apa saja yang akan kamu lakukan
hari ini,nak?” tanya Ayah, tanpa menyibak halaman korannya untuk menatapku.
“ Ke sekolah. Belajar. Rapat OSIS.
Seperti biasa.” Jawabku otomatis. Perlu diketahui, bahwa aku selalu menjawab
seperti ini jika mereka bertanya apa yang akan aku lakukan hari itu. Dan
jawaban mereka juga selalu sama, bahkan pada saat akhir minggu (yang berarti
aku tidak akan ke sekolah).
“Oh. Mmm-hmm.” ucap orangtuaku
bersamaan.
Aku memutar bola mata, kemudian meminum
habis kopiku. Kemudian aku bergegas mengemas makan siang, lalu beranjak ke
pintu keluar.
“Lucille?” ibuku memanggil.
“Ya?”
“Jangan lupakan uang makan siangmu.”
ujarnya sambil melambaikan lima puluhan dolar ke arahku, tanpa mengalihkan
pandangan dari tabloidnya.
Oh ya. Tentu saja. Uang tambahan
lagi untuk membeli novel favoritku. Aku tersenyum miring kemudian menyelipkan
uang tersebut, tak lupa menggumamkan ucapan terima kasih pelan. Aku bertanya-tanya,
apakah ia akan pingsan melihat koleksi bukuku yang membengkak sejak aku
memutuskan untuk membawa makan siang dari rumah.
Sesampainya di halaman, aku
sekaligus mengangkut kantong sampah dari belakang rumah, kemudian menaruhnya
disamping tempat pos, tempat dimana petugas sampah kota akan mengambilnya
nanti. Aku mengambil surat-surat hari ini, menyimpan semua yang berisi tagihan
listrik serta air di tas sekolahku (karena aku yang akan membayarnya) serta
memasukkan kembali surat yang berisi tagihan kartu kredit ke dalam kotak pos,
karena Ibu yang akan mengambilnya nanti. Setelah itu, aku mengambil mp3
player-ku, memasang earphone, kemudian bersender ke tembok. Menunggu bus
sekolahku datang.
Itulah yang kulakukan setiap pagi.
Bangun, bersiap-siap, sarapan, mendengar pertanyaan
apa-yang-akan-dilakukan-hari-ini. Kemudian keluar rumah, mengambil sampah,
mengecek surat, lalu menunggu bus sekolah.
Aku memejamkan mata, menekan kelopak
mataku kuat-kuat. Kebosanan ini benar-benar tidak tertahankan.
Kapankah kehidupanku akan berubah?